Komedi dan Terbelahnya Masyarakat Kita

Komedi menjadi milik semua orang, baik dalam tataran penikmat maupun pelaku. Fenomena ini bukan isapan jempol belaka, melainkan sebuah keniscayaan dalam masyarakat kita saat ini. Lihat saja, acara-acara komedi bertebaran di setiap stasiun televisi, tidak hanya berkaitan dengan kuantitasnya yang memang membludag, tetapi juga hampir setiap acara selalu diselipkan humor, canda-tawa, lawak, dan lucu-lucuan. Sepertinya masyarakat sudah jenuh dengan keseriusan atau hal-hal yang mengerutkan kening. Terlebih konten-konten berita yang isinya itu-itu saja. Kalau tidak korupsi ya, skandal para politisi, artis, dan kemiskinan. Di tengah hiruk pikuk keseragaman informasi tersebut, komedi-humor seakan menjadi danau berair jernih nan tenang, bukan lagi arena banal pengumbar tawa dengan para gadis pantai berpakaian minim.

Sebenarnya, hal ini hanya berlaku pada spesies komedi baru yang kita kenal dengan stand up comedy. Genre komedi ini seakan melampaui tabir tebal perkembangan komedi di Indonesia. Komedi yang awalnya semata hiburan, dimiliki kelangan menengah bawah, dianggap remeh karena mengusuh budaya pop saat ini mengalami pergeseran. Komedi secara frontal menjadi suara anak-anak muda yang gelisah, kritis, dan intelek. Tidak mengherankan stand up comedy, walau bukan genre baru—genre ini di Amerika sudah berkembang sejak tahun 70-an—melahirkan kelompok komedi baru. Baik itu berkaitan dengan munculnya comic-comic baru berbasis komunitas di berbagai kota maupun massa penggemar yang biasanya aktif di media sosial. 

Di tempat terpisah, komedi konvensional (slapstick) tetap menjamur. Lihat saja, di bulan Ramadhan ini acara komedi tetap menjadi primadona setiap stasiun televisi. Setiap menjelang berbuka dan setiap sahur acara-acara tersebut menemani kita dengan lawakan-lawakan yang, katakanlah ringan dan mudah dicerna. Dengan segala hiruk-pikuk pekik-tawa “penonton bayaran” acara-acara ini menyihir banyak kalangan hingga ke pedesaan. Hal ini disebabkan, acara komedi sudah bukan lagi milik para komedian an sich melainkan diadopsi juga oleh para artis yang bukan komedian. Siapa tidak tertarik, walaupun terkadang garing dan asal-asalan, artis-artis ibukota yang tampan nan cantik melawak. Kemolekan dan ketenaran tentu menjadi pertimbangan tersendiri pemirsa menonton acara. Namun, tidak jarang pula dari mereka ini berbakat melebihi pra komedian. Kenyataan yang membuat profesi pelawak tidak melulu identik dengan keunikan, keanehan—mohon maaf—dan kejelekan yang biasanya terkait fisik.

Tulisan ini tidak bermaksud membahas yang mana lebih unggul-mana lebih nyeni dari keduanya. Akan tetapi, lebih menyoroti keterbelahan masyarakat kita dalam posisinya sebagai penikmat acara hiburan-televisi-komedi. Selanjutnya, persaingan laten antara satu genre komedi dan komedi yang lain. Serta terakhir, karena tidak bisa dipisahkan dengan stasiun televisi yang menjadi patron acara-acara tersebut, persaingan juga menyentuh ranah bisnis yang ironisnya sering tidak memedulikan konten acara dan efeknya terhadap penonton. Secara frontal, yang penting untung.



Dunia yang Terbelah
Oleh, Muhammad Iqbal Awaludien

Tidak ada komentar: