Syafrudin Prawiranegara: Ekonom, Pahlawan, dan Presiden [Resensi]

Judul Buku  : Ekonomi Neo-Klasik Dan Sosialisme Religuis, Pragmatisme Pemikiran
                      Ekonomi Politik Syafrudin Prawiranegara
Penulis         : Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo
Penerbit       : Mizan Publika
Cetakan        : Oktober, 2012
Tebal            : 232 halaman, 13 x 20,5 cm
ISBN             : 978-602-97633-4-8


Dalam biografi yang ditulis Ajip Rosidi, Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah, Syafruddin digambarkan sebagai sosok yang religius. Hampir tanpa cela, karena mendasarkan segala perjuangannya semata-mata untuk beribadah. Sisi yang dibidik Ajip merupakan usaha pertama untuk “meluruskan” nama Syafrudin, yang selama lebih dari dua dekade tenggelam. Ajip melihat bahwa, Syafrudin adalah sosok ideal yang di satu sisi merupakan sosok yang taat, dan di sisi lain merupakan sosok yang moderat. Ia merupakan seorang ulama, selain juga seorang menak dan negarawan.

Berbeda dengan buku tersebut, dalam buku yang bergenre biografi pemikiran ini penulisnya, Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo mencoba mengambil jarak pada sosok Syafruddin sebagai sosok religius, ningrat, dan negarawan. Gagasan utamanya lebih kepada sosok Syafruddin yang tidak banyak diketahui khalayak luas, yaitu sebagai seorang ekonom yang mempunyai pemikiran melampui zamannya.

Sebagai manusia biasa Syafrudin tetap manusia tidak sempurna, tapi sebagai ekonom dan teknokrat pada masanya ia hampir tanpa cela. Argumen ini berdasar pada fakta-fakta historis yang menunjukkan bahwa Syafrudin dalam pemikirannya sangat pro-rakyat. Ekonomi kerakyatan, yang secara garis besar adalah kebijakan industrialisasi pedesaan melalui penerapan teknologi tepat guna dengan investasi negara merupakan buah pemikiran orisinil darinya (hlm 105). Tidak mengherankan Syafruddin ketika itu berpolemik dengan Sumitro Djojohadikusumo yang lebih memilih kebijakan ekonomi liberal, dengan cara mengundang modal asing guna mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sedang terpuruk di tahun 1950-an.

“Pelurusan” Sejarah
Menurut Jose Saramago, sastrawan Portugal peraih nobel itu “sejarah resmi adalah fiksi”. Ia menyatakan bahwa proses rekonstruksi sejarah dimulai dengan pengumpulan fakta-fakta, lalu menyeleksi fakta tersebut; mana yang harus di buang dan dipakai, untuk selanjutnya baru memasuki tahap penulisan. Fase-fase ini membuat sejarawan hanya bisa menulis peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh tertentu, dan dengan begitu mereka menghilangkan yang lain. Hal ini berarti sejarah resmi juga bermakna sejarah institusional dalam pengertian bahwa sejarah legitimated menurut kekuasaan adalah fiksi. Fiksi di sini merujuk pada makna yang lebih provokatif dan negatif, bukan untuk prosa dalam karya sastra melainkan bahwa sejarah merupakan kebohongan itu sendiri.

Apa yang dinyatakan Saramago tersebut relevan dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia. Di negeri ini, kebohongan sejarah telah menjadi sudut paling kelam yang traumatik. Bagaimana tidak, karena kebohongan ini tak terhitung tragika-tragika terjadi pada manusia-manusia yang sengaja dikambing-hitamkan atas nama kepentingan nasional; pembantaian, penyiksaan, pembuangan, dan pengucilan sosial menimpa orang-orang yang dianggap tak “layak bertempat dalam sejarah”. Dalam konteks yang lebih sempit tidak diakuinya banyak tokoh yang berjasa kepada bangsa dan negara sebagai pahlawan nasional, adalah bukti nyata akibat manipulasi sejarah yang bergantung pada selera penguasa.

Secara implisit penulisnya bermaksud melawan tren fiksi dalam sejarah tersebut. Menurutnya, “ia (Syafrudin) merupakan tokoh yang dilupakan hanya karena tidak ikut berperang mengusung senjata” (hlm 62). Perannya seakan sengaja dikerdilkan, baik itu oleh Orde Lama maupun Orde Baru karena terbukti terlibat dalam PRRI pada 1958 dan Petisi 50. Padahal, pada masa awal kemerdekaan, ia adalah orang yang paling berjasa memimpin Pemerintahan Darurat RI di Bukittinggi. Ketika itu, Yogyakarta sebagai ibu kota negara lumpuh akibar Agresi Militer Belanda Kedua (1948). Di bawah Syafrudin, PDRI berhasil menjaga kelangsungan revolusi kemerdekaan. Hatta dalam memoarnya menyebut Syafrudin sebagai presiden selama 207 hari (Tempo, November 2011).


*****
Buku ini cocok dimiliki oleh semua kalangan yang memiliki ketertarikan kepada biografi dan sejarah pemikiran. Khususnya biografi pemikiran tokoh nasional yang terlupakan. Tersebab, selain ditulis oleh seorang pakar yang kapasitas intelektualnya tidak perlu diragukan lagi, kemudian bobot-isi buku yang padat dan menarik, juga sudut pandang penulisnya yang mencoba menawarkan wacana kritis; bahwa pahlawan (nasional) tidak harus selalu pejuang yang bertempur secara fisik tapi juga bisa dengan jalan lain. Salah satunya adalah melalui perjuangan ide.

Resensator :
Muhammad Iqbal Awaludien

Tidak ada komentar: