Raden Ngabehi -- Yasadipura II


PENDAHULUAN
Menurut filologi kolonial, sastra Jawa mencapai zaman emasnya lebih dari lima ratus tahun yang lalu dengan ditulisnya teks-teks kekawin oleh para Pujangga Keraton Jawa pada zaman klasik, yaitu abad ke-14. Teks-teks itu merupakan puncak dari kebudayaan Hindu-Budha. Menurut gambaran ini, zaman emas ini diakhiri oleh kedatangan Islam pada akhir abad ke-15, kedatangan Islam berarti jatuhnya nilai Kesusastraan Jawa. Lagi-lagi dalam bidang Sejarah Sastra Kolonial ini dalam abad-abad berikutnya karya Sastra Jawa konon merosot. Katanya sastra yang dikarang pada “zaman gelap” ini merupakan karya derivatif dan korup, karya yang menuliskan topik-topik Islam; tambahan lagi pengarangnya bukan lagi dari Keraton tetapi hanya orang pinggiran (pesisir).

Baru pada akhir abad ke 18, dan ini menurut bingkai (kanonisasi) yang diciptakan oleh filologi Kolonial. Sastra Jawa menikmati suatu “Renaisance”, suatu kelahiran kembali yang terjadi di Keraton Surakarta. Menurut ceritanya, lewat Renaissance ini Sastra Jawa dapat mencapai kembali sebagian keagungannya dari zaman dulu dengan terjemahan klasik kekawin dari bahasa Jawa Kuno kepada Tembang Jawa Modern. Dan menurut filolog terkenal T. Pigeaud, Sarjana Jawa menyongsong kehidupan baru ini dengan “membelokan perhatiannya dari teks-teks Islam kepada kekawin Jawa Kuno” (Literature of Java I: 236). Dengan kata lain, oleh karena mereka akhirnya membelakangi Islam yang “asing”, dan menghadap lagi pada alam pikiran Hindu-Budha yang “asli”, Sarjana Jawa dapat menmukan kembali kenyataan dan keagungannya. Sayangnya, hidup baru itu oleh para filolog tidak dibiarkan hidup lama. Pada akhir abad ke 19 Sarjana Barat sudah berani menyatakan bahwa karya-karya Renaissance itu sebenarnya tidak lebih dari terjemahan yang jelek. Lebih lagi mereka mencela karya-karya yang lain, yang ditulis oleh para pujangga “Renaissance” (misalnya Ranggawarsita) sebagai sastra yang kurang baik dan kurang berarti. Renaissance itu dinyatakan mata, dan pada waktu yang sama Sastra Tradisional Jawa dinyatakan tidak bermutu.

Meskipun begitu, gambaran “Sastra Jawa Tradisional” yang diciptakan pada awal perkembangan Filologi Jawa, yaitu gambaran yang berdasarkan “Romantika Renaissance Surakarta” yang mempesonakan para filolog sekitar tahun 1830-1860 juga teap bertahan. Memang gambaran ini memenuhi harapan tertentu, sebab dengan gambaran ini ilmu pengetahuan dapat dengan aman melihat dan menobatkan kembali di balik tembok Keraton yang kokoh dan di dalam bayangan sastra “Renaissance” itu, keagungan klasik Keraton Hindu-Budha. Di situ ilmu pengetahuan kolonial dapat melihat, lewat teks sastra, pengembalian Manusia Jawa kepada kenyataannya yang halus (jinak), dan penyimpangannya dari pesan-pesan yang berbahaya (politik) yang baginya mewarnai ajaran agama Islam. Dan jangan lupa bahwa kekuasaan Belanda-lah yang membidani kelahiran kembali itu. Para filolog sering mengingatkan kita bahwa adanya Renaissance Surakarta itu berkat Pax Nederlandica, yaitu suatu kedamaian dan keamanan yang dibangun pemerintah kolonial Belanda.

Romantika filolog pasca 1830 memproyeksikan kembali awal Renaissance Surakarta dan terpecahnya Kerajaan Mataram. Pujangga Keraton, Yasadipura II, merupakan salah seorang tokoh yang banyak memberi pengaruh dalam Renaissance tersebut. Dan yang dikaitkan dengan dia bukan saja kelahiran Sastra Jawa dari kubur yang konon digali oleh kedatangan Islam, Yasadipura II juga diakui sebagai ayah dinasti pujangga. Kelak anak dan cicitnya menggantikan kedudukannya sebagai pujangga Keraton, suatu jabatan resmi di Keraton Surakarta pada jaman itu. Dan salah satu anaknya yang paling terkenal adalah Ranggawarsita II. Karya Sastra Yasadipura II sangatlah banya, tetapi yang salalu mendapat sorotan adalah teks-teks yang diterjemahkan dari Jawa Kuno ke Tembang Macapat (yaitu “Serat”-nya yang berjudul Baratayuda, Rama, Dewaruci, dan Niti Sastra) yang diterjemahkan bersama dengan ayahnya, Yasadipura I. Berkat terjemahan itulah Yasadipura II sering kali diakui sebagai tokoh yang paling berjasa dalam memberi Manusia Jawa Modern tentang pandangan selintas dan pemulangan tak sempurna pada asal mulanya, yang “luhur” dan pra-Islam.

Makalah ini memuat fakta-fakta atau kejadian yang menjadi datum sejarah, sehingga kita dapat dengan mudah mengakses informasi tentang sejarah dan peranan masyarakat Yasadipura II di dalam dunia kesusastraan Jawa. Dari fakta-fakta yang telah dikumpulkan mengenai dunia kesusastraan Jawa ketika mengalami “Surakarta Renaissance”, kita akan memperoleh pemahaman betapa pentingnya peranan para pujangga kerajaan yang telah melewati perkembangan aspek historis yang sangat panjang.

Metode yang digunakan di dalam makalah ini adalah metode penelitian sejarah. Penulisan mengenai sejarah tersebut ibarat sebuah lukisan yang komposisinya memberikan gambaran utuh dan gambaran detailnya. Karena itu, di samping menggunakan pengumpulan sumber (heuristik), digunakan juga studi pustaka (library research) untuk mendapatkan data yang benar-benar valid dan teruji kebenarannya. Dengan paralelisasi fakta-fakta tersebut, maka dapat ditemukan keterkaitan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain.

Metode pendekatan yang digunakan dalam makalah ini adalah dengan menilik peranan serta kondisi dunia kesusastraan Jawa pada masa pujangga Yasadipura II. Selain itu, digunakan juga metode pendekatan dengan melihat asal-usul dan sejarah politik intern yang terjadi di dalam kerajaan Mataram pada saat itu. Sebagai penganalisanya, digunakan metode analisis kritis. Konsepsi sederhana yang dipakai dalam studi pustaka makalah ini berasal dari beberapa buku dan internet yang bertema sama, yaitu tentang sejarah politik dan sejarah mengenai keberadaan Yasadipura II sebagai abdi dalem istana pada masa itu, namun berbeda konteks. Yang jelas, proses penelitian ini tidak hanya mengembalikan memori kita kepada keberadaan kesustraan Jawa pada masa itu, melainkan juga peranan para pujangga-pujangga kerajaan dalam menciptakan berbagai karyanya sekalipun terus ditindas oleh berbagai faktor dan zaman yang semakin modern.


PEMBAHASAN
Raden Ngabehi Yasadipura II atau yang lebih dikenal dengan nama lain Raden Ngabehi Ranggawarsita I, Raden Panjangwasita atau Raden Tumenggung Sastranagara adalah seorang pujangga besar yang merupakan putra dari Raden Ngabehi Yasadipura I.. Yasadipura II merupakan seorang pujangga besar Keraton Surakarta yang hidup pada tahun 1760-1845 M. Ia adalah seorang Pujangga Keraton yang pernah menjadi santri di Pesantren Tegalsari, Ponorogo, bersama dengan teman satu angkatannya yang bernama Kyai Imam Besari II (1762-1862) yang tidak lain adalah putra dari Kyai Imam Besari I . Yasadipura II sendiri merupakan keturunan dari Jaka Tingkir (Sultan Adiwijaya, Raja Pajang) yang dari silsilah keluarganya banyak melahirkan beberapa pujangga Jawa terkenal, seperti Yasadipura I (sang ayah) dan Raden Ngabehi Ranggawarsita (sang cucu).

Setelah Yasadipura II menyelesaikan pendidikannya di Tegalsari ia kembali ke Surakarta dan mengabdi di Keraton, karirnya sebagai penulis mulai berkembang pada awal abad ke-19. Bersama-sama dengan ayahnya, Yasadipura mulai menulis beberapa Babad dan menerjemahkan beberapa karya Sastra Kuna. Tetapi setelah kematian ayahnya, Yasadipura II kemudian diangkat sebagai pujangga dan abdi dalem kerajaan. Ia semakin aktif menulis selama periode antara tahun 1810-1820an. Yasadipura II banyak bekerja sama dengan para pujangga lainnya, seperti Kyai Ngabehi Ranggasutrasna, Kyai Ngabehi Sastradipura, dan Pangeran Adipati Anom Hamangkunegara III (kelak Pakubuwana V). Karya yang mereka hasilkan salah satunya adalah Serat Centhini yang sangat terkenal hingga sekarang. Karya-karya Yasadipura II didasarkan atas dampak langsung yang dirasakan oleh dirinya dan keluarganya. Kejadian-kejadian dirinya dan keluarganya tersebut ia tuangkan di dalam beberapa karyanya, dan salah satunya adalah perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda.

Yasadipura II dikenal sebagai pujangga Keraton atau kaum literati yang kreatif, produktif, kritis, dan terkemuka pada zamannya. Hal tersebut tercermin dalam beberapa karyanya, seperti Dharmasunya, Arjunasasra, Wicarakeras, Sasanasunu, Bratasunu, Babad Giyanti, Sewaka, Anbiya, Iskandar Serat Centhini, dan masih banyak lagi karya-karya lainnya. Berbeda dengan ayahnya, Yasadipura I, asal-usul keberadaan Yasadipura II tidak terlalu banyak dapat diceritakan. Hal ini dikarenakan keterbatasan sumber dan banyaknya karya-karya Yasadipura II yang tidak diekspos atau hilang.

Pada tahun 1826, Yasadipura II ditunjuk sebagai pejabat Bupati Carik Kadipaten. Ketika menjadi seorang pujangga, Yasadipura II mengabdi kepada tiga orang raja yang ketiga-tiganya dikenal sebagai pengayom sastra. Salah satu dari ketiga raja tersebut adalah Raja Pakubuwana V (1820-1828) yang memiliki tiga orang putra antara lain R. Ngabehi Ranggawarsita II, Mas Haji Ranggasmita (keduanya nanti diasingkan oleh Belanda pada tahun 1828, karena dianggap bersekutu dengan Pakubuwana IV melawan kompeni pada saat terjadi perang jawa yang terjadi pada kurun waktu 1825-1830), dan R. Ngabehi Hawikrama yang kelak bergelar Yasadipura III.

Karya sastra Yasadipura II melingkupi bidang yang lebih luas lagi dibandingkan dengan karya Yasadipura I. Seperti ayahnya, Yasadipura II juga dapat menerjemahkan Serat Lokapala yaitu yang pertama dari Kawi ke dalam Tembang Jawa Modern, dan yang kedua kalinya dari Tembang Modern “Balik” ke bentuk Kawi Miring ke dalam bahasa Jawa Kuno. Selain itu, ia juga menciptakan karya lain yang ia tulis kembali ke dalam bentuk Kawi Miring, yaitu serat Bima Suci (dari terjemahan terkenal yang dikarang oleh Yasadipura I). Yasadipura II juga menyusun beberapa kamus Dasanama Kawi-Jawa dan juga mengarang di dalam Pasemon sebuah komentar atas sejarah Jawa.Yasadipura II menulis beberapa karya sejarah lainnya yaitu Babad Pakepung yang mengisahkan kondisi Solo pada tahun 1790-an yang pada masa tersebut mengalami krisis politik. Babad ini juga menceritakan bagaimana rajanya yang masih muda dan keras kepala, berbagai pertentangan yang terjadi mengenai arti ketaatan di dalam umat Islam di Solo, serta bagaimana tekanan yang semakin berat dari penjajahan Belanda pada waktu itu.

Yasadipura II merupakan Pujangga Kasunanan kedua yang pada hayatnya tekun beribadah secara Islam, namun jiwa Jawanya masih tampak kental mempengaruhi pandangan hidup dalam karya sastranya. Yang lebih mengesan dan mendalam adalah sekalipun nenek moyangnya telah tiada ia tetap menjaga kewibawaannya. Yasadipura II memiliki ciri-ciri penulisan karya sastra yang sangat berbeda dari ayahnya. Tulisan Yasadipura II mayoritas berisi kritikan dan kecaman terhadap situasi politik intern Keraton Surakarta yang timpang. Hal ini dapat dilihat dalam setiap karya-karyanya, dimana Yasadipura II sangat mengecam keras semua tokoh yang secara terang-terangan melakukan perlawanan terhadap Belanda (contoh : Pakubuwana IV) dan menjadikan tokoh-tokoh tersebut sebagai contoh-contoh yang tidak patut ditiru dalam karya sastranya. Jika Yasadipura I dalam Babad Giyanti menonjolkan sisi kepahlawanan Pangeran Mangkubumi terhadap Raden Mas Said yang memberontak pada diriya. Maka sebaliknya, Yasadipura II cenderung menggambarkan Pakubuwana III sebagai sosok raja yang kurang simpatik dan lemah. Namun meskipun begitu, Yasadipura I dan Yasadipura II memiliki beberapa persamaan dalam beberapa karyanya, yaitu sama-sama pernah mengecam rajanya sendiri.

Peristiwa tersebut kembali ditulis oleh Yasadipura II dalam “Serat Wicara Keras”. Beliau menganggap peristiwa itu harus dijadikan pelajaran dengan mengkritik tiga guru dalam (tiga kyai yang dipercaya sebagai seorang yang memiliki ilmu tinggi dan kesaktian yang luar biasa) yang dipercayai oleh Pakubuwana III. Menurut Yasadipura II mereka hanyalah para penghasut, pengadu domba, pengecut, dan bahkan menyebut salah satunya sebagai pengutil. Pakubuwana IV pun tidak luput dari sasaran kritikannya, Yasadipura II mengkritik Pakubuwana IV sebagai raja muda yang belum punya pengalaman untuk memerintah kerajaan.

Perbedaan pandangan antara Yasadipura I dan Yasadipura II memiliki dua makna penting untuk mengetahui terjadinya pergeseran ideologis diantara dua generasi sejarawan tradisional jawa tersebut dalam menilai peristiwa sejarah dan menguji gejala lunturnya teori tentang raja sebagai patron sastra. Dalam hal ini, kedua pujangga tersebut tetap memiliki karakteristik penulisan sendiri yang dapat dilihat dari berbagai macam karyanya. Seperti yang ditulis oleh Yasadipura II, Ia menceritakan dalam “Babad Pakepung” tentang keonaran di Surakarta yang terjadi tak lama setelah naik tahtanya Pakubuwana IV, meskipun pada akhirnya keonaran tersebut tidak menjadi sebuah pemberontakan yang berskala luas.

Yasadipura II juga menulis dua kitab sejarah yang terjadi jauh dari Surakarta yaitu Serat Ambiya yang mengisahkan secara panjang lebar sejarah para Nabi Allah swt. dan Serat Musa yang merupakan suatu biografi dari Nabi Musa. Selain itu, Yasadipura II pun mengarang beberapa Suluk dan Teks Piwulang, banyak dari karya-karyanya yang memiliki nilai-nilai keagamaan, di antaranya ada beberapa karyanya yang melibatkan pengajaran akhlak Islam. Peranan Yasadipura II yang memberi arti penting dan mempunyai sumbangan yang paling berarti bagi khasanah Sastra Jawa adalah usahanya dalam menyusun Serat Chentini. Serat Centhini berbeda dari cerita yang terjadi di pedesaan atau pesantren, karena serat Centhini merupakan suatu tenunan teks yang bersifat elegan. Selain itu, teks-teks dalam serat Centhini disusun dari berbagai benang yang menyusuri pikiran, sejarah, dan Sastra Jawa dan Islam yang dikembangkan dari bentuk gaya sastra Suluk. Serat Chentini lebih merentangkan gaya itu sehingga menyebabkan terjadinya suatu bentuk yang baru, yaitu sebuah gaya penulisan yang sebelumnya tidak pernah diketahui dalam dunia kesusastraan jawa yang dikenal sebagai suatu “Ensiklopedia Jawa“. Cerita yang disusun dalam Serat Chentini pada awal abad 19 sangatlah halus ngelmu dan menarik. Karya-karya lainnya yang diciptakan Yasadipura II antara lain adalah Serat Arjunasasra atau Serat lokapala, Serat Darmasunya, Serat Panitisastra, Serat Kawidasanama, Serat Sasana Sunu, Serat Pralambang Uran-uran Semut Ireng, dan kemungkinan bersama-sama dengan C.F.Winter ia juga menerjemahkan dua epik jawa klasik yaitu Baratayuda dan Ramayana.

Di luar keindahan bahasa yang digunakan, memang tidak banyak kelebihan dan keistimewaan di dalam karya-karya Yasadipura II. Hal ini dikarenakan karya Yasadipura II hanyalah berupa terjemahan dari karya klasik dan karya-karya Islam. Hanya ada empat karyanya yang asli. Dua diantara karyanya adalah Babad Pakepung yang ditulis bersama dengan ayahnya, Yasadipura I, dan Serat Centhini yang ditulis dengan Kyai Ngabehi Ranggasutrasna, Kyai Ngabehi Sastradipura, dan Pangeran Adipati Anom Hamangkunegara III beserta beberapa orang lainnya. Dua karya Yasadipura II lainnya adalah serat Sasana Sunu dan Serat Wicara Keras yang merupakan pengecualian karena merupakan karya dedaktik yang diinspirasikan oleh situasi sejaman.

Pada tahun 1845 Raden Ngabehi Yasadipura II meninggal dunia, dan Babad Pakepung merupakan karyanya yang paling terakhir. Babad tersebut ia tuliskan sebelum beliau meninggal dunia dan menjadi babad yang paling dibanggakan oleh para pencinta karyanya.

KARYA-KARYA YASADIPURA II
Serat Sanasunu atau Sasanasunu
Serat Sanasunu adalah puisi dedaktik yang ditulis dalam Tembang Macapat yang merupakan salah satu bentuk dari Piwulang Yasadipura II sebagai ayah kepada anak-anaknya dalam menghadapi zaman yang mulai berubah, di mana banyak sekali iming-iming untuk hidup memuja harta dan jabatan serta kesenangan, tetapi mengorbankan banyak nilai-nilai agama dan budaya jawa yang luhur. Di dalam Piwulang tersebut terdapat bagaimana harapan Yasadipura II agar anak-anaknya tidak terjerumus ke jalan yang sesat. Serat Sasanasunu terbagi dalam 12 bab dan salah satu bab tersebut berisi tentang agar orang menjadi Islam dan bertauladan kepada Nabi Muhamad serta bab tentang tata cara tidur, makan, berjalan, dan bepergian. Naskah-naskah lain yang senafas dengan Serat Sanasunu adalah Serat Brata Sunu dan Sewaka yang juga dianggap sebagai karya dari Yasadipura II.

Yasadipura II memiliki banyak anak tetapi hanya dua diantaranya yang mempunyai keahlian sebagai pujangga. Dua anaknya tersebut memiliki karir yang baik sebagai satrawan istana dengan mengikuti jejak ayahnya, Yasadipura II untuk menjadi seorang pujangga istana kerajaan. Tapi sayangnya, karir yang sangat menjanjikan itu hilang begitu saja dan terlalu pendek untuk dapat dirasakan oleh R.Ng.Ranggawarsita II, sebagai anak sulung dari Yasadipura II. Ketika ia sudah mencapai posisi sebagai Lurah Carik di Kraton, tiba-tiba ia harus ditangkap, disiksa, dituduh subversif dan dibuang oleh penguasa Belanda pada tahun 1828. Meskipun dimikian anak dari Yasadipura II itu sangat dikagumi oleh para penangkapnya karena R.Ng.Ranggawarsita II memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi seperti ayahnya. Dahulu, Ranggawarsita II merupakan seorang pengarang yang brilian, tetapi sayang sekali semua karya-karyanya kemudian hilang dan tidak pernah ditemukan kembali.

Salah satu anak Yasadipura II yang yang lain adalah Mas Haji Ranggasasmita. Sekitar tahun 1815, Ranggasasmita yang pernah belajar dari disuatu tarekat shattariah, menunaikan ibadah haji bersama seorang pamannya Ranggasasmita adalah penulis Serat Walisanga (sejarah para wali di Jawa), dan beberapa Suluk. Nasib Ranggasasmita rupanya tidak jauh berbeda dari kakaknya R.Ng.Ranggawarsita II. Ia juga dituduh subversif dan kemudian dibuang bersama-sama dengan kakaknya. Mereka harus berhadapan dengan Belanda, dan harus di perlakukan tidak adil sepeti disiksa, dibuang dan akhirnya di bunuh. Dan penangkapan itu dilakukan di rumah muridnya sendiri, yaitu C.F.Winter yang juga memiliki andil besar dalam merekayasa proses penangkapan tersebut. Tetapi setelah melihat kejadian-kejadian tersebut, Yasadipura II merasa keinginannya telah tercapai. Hal ini dikarenakan ketiga putranya telah menjadi orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, meskipun mereka memperhatikan dan mempertahankan idealismenya tersebut dapat dikatakan hanya untuk melindungi ayahnya.

Sesungguhnya, apakah tujuan Belanda menangkap Ranggawarsita II dan Ranggasasmita ? Di dalam pengantar Serat Sanasunu dikatakan bahwa sebenarnya alasan ditangkapnya Ranggawarsita II dan Ranggasasmita adalah karena mereka merupakan orang yang diberi tugas oleh Pakubuwana VI untuk menulis surat-surat yang ditujukan kepada pangeran Diponegoro yang memberontak kepada Belanda. Padahal, surat tersebut merupakan tulisan yang ditulis oleh ayah mereka sendiri, Yasadipura II sebagai pujangga istana. Dan demi melindungi ayahnya, Ranggawarsita II mengakui surat-surat tersebut sebagai tulisannya.
Serat Wicara Keras
Serat Wicara Keras ini ditulis pada hari kamis wage, 6 Jumadil Awal, mangsa 10, tahun 1747 (antara 26 Maret-19 April 1819). Tetapi berbeda dengan apa yang diteliti oleh Darnawi, ia mengemukakan terdapat angka tahun yang berbeda yaitu tahun jawa 1744 atau 1816 Masehi. Selain itu, Serat Wicara Keras memang lebih besifat Piwulang, tetapi juga merupakan sebuah kritik sosial tajam yang dilontarkan oleh Yasadipura II. Oleh karena itu, Serat ini memiliki nilai cipta yang tinggi sebagai sumber sejarah untuk menggambarkan kondisi dan sikap sosial politik yang terjadi pada saat itu..

Serat Wicara Keras ini dapat diartikan sebagai bicara “blak-blakan” atau bicara apa adanya. Bait pertama dalam karyanya ini tampaknya menunjukan sebuah keputusan sekaligus suatu jalan terbaik untuk mengungkapkan ganjalan batin dan pujangga melihat realitas sosial-politik mesyarakat Surakarta yang sedang “sakit” saat itu, dan agar “setan-setan” pembawa penyakit itu pun lari terbirit-birit. Hal tersebut tertuang di dalam bait pertama karyanya tersebut, yang berbunyi :
“Watake wicara Kerar, sumuke pengucap wengis, iku nangekasake napas, setane nuli kekinthil yen njur ririh manis, nora tangi napasipun, ayem sarta santosa, setane lumayu ngenthir, pan wus kocap wong sabar ngunjara setan”.
Artinya :
“Hati yang panas mengucapkan kata-kata kasar, cara demikian membangkitkan rasa, dapat menundhukkan setan, bila lemah lembut, tidak akan membangkitkan rasa, dan tenang-tenang serta gembira, jika berbicara keras setan akan terbirit-birit, bukankah telah diketahui orang sabar memenjara setan”.

Kritik demi kritik banyak dilontarkan oleh Yasadipura II dari pupuh pertama sampai terakhir. Banyak nama pejabat dan bangsawan yang namanya secara terang-terangan disebut sebagai contoh manusia yang sakit dan tokoh-tokoh yang baik, dan kebanyakan dari tokoh-tokoh itu di ambil dari Babad Giyanti, Babad Prayut, dan Babad Pakepung yang ditulis oleh ayahnya, Yasadipura I.

KESIMPULAN
Dari pertama terbentuknya kesastraan jawa, muncullah seorang pujangga yang mengabdi di kerajaan Surakarta yaitu Yasadipura I. Yasadipura I kemudian mempunyai seorang anak yang diberi nama Yasadipura II yang memiliki profesi tidak jauh berbeda dari dirinya sebagai seorang pujangga kerajaan. Bakat dan keahlian anaknya ini di dalam kesusastraan Jawa kemudian mendapat sambutan yang baik dari Raja Pakubuwana IV. Yasadipura II kemudian diangkat menjadi Pujangga Keraton Surakarta selama periode 1810-1820an.. Karirnya sebagai penulis sangatlah cemerlang, bersama dengan ayahnya ia menulis babad dan menerjemahkan beberapa karya Jawa kuna.

Yasadipura II memiliki pendapat berbeda dengan Yasadipura I dalam segi penulisan karya mereka masing-masing. Jika Yasadipura I dalam karyanya Babad Giyanti menonjolkan sisi kepahlawanan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said, justru Yasadipura II menganggap mereka sebagai para penghasut, pengadu domba, pengecut, dan bahkan menyebut salah satunya sebagai pengutil. Tetapi si balik semua itu, mereka berdua memiliki beberapa persamaan, yaitu sama-sama mengecam keras semua tokoh yang secara terang-terangan melakukan perlawanan terhadap Belanda (rajanya yaitu Pakubuwana II) dan menjadikannya sebagai contoh dari tokoh-tokoh yang tidak patut ditiru. Perbedaan pandangan antara Yasadipura I dan Yasadipura II tersebut memiliki dua makna yang penting untuk mengetahui terjadinya pergeseran ideologis dua generasi sejarawan tradisional jawa dalam menilai peristiwa sejarah dan menguji gejala-gejala lunturnya teori tentang raja sebagai patron sastra.

Dari ideologi Yasadipura II yang mengecam keras para pejabat dan bangsawan, ternyata membawa dampak langsung terhadap keluarga Yasadipura II sendiri, dua orang anaknya disiksa dan ditangkap serta dibuang lalu dibunuh karena untuk membela dan menutupi sikap ayahnya tersebut. Tetapi biarpun berbagai kejadian pahit terus menimpa dirinya, Yasadipura II terus berkarya hingga akhir hayatnya. Karya-karyanya tersebut bahkan dikenal sampai sekarang ini. Yasadipura II meninggal dunia pada tahun 1844, dengan Babad Pakepung sebagai karya terakhirnya.

Dengan survei yang sangat pendek ini terhadap kehidupan dan karya-karya para pujangga Keraton Surakarta, keterlibatan para pujangga besar ini dalam dunia kecendekiawanan Islam dapat terlihat secara signifikan. Perlu dicatat dan ditekankan bahwa pujangga keraton ini menjadi bagian sangat produktif dari umat cendekiawanan ini persis pada waktu mereka konon membelokkan pandangan dari Islam. Dengan demikian, tidak berarti bahwa dunia kepujanggaan Keraton Surakarta merupakan suatu “sarang Islam radikal”. Kesimpulan semacam itu cuma akan menguatkan prasangka penjajah bahwa orang yang melibatkan dirinya pada ajaran dan teks Islam patut dicurigai yaitu mengulangi lagi mimpi buruk penjajah akan “fanatik Islam.” Hal tersebut dilakukan dengan memikirkan sisi Islam di dalam dunia kesusastraan “Renaissance Surakarta”, sebagai suatu sisi yang sering terlupakan di dalam gambaran kebudayaan sastra Jawa. Kenyataan ini terlihat lebih jelas lagi kalau kita mengingat bahwa sebagian besar naskah-naskah kuno yang tersimpan di balik tembok itu ditulis bukan oleh pujangga-pujangga terkenal tetapi oleh pengarang-pengarang yang lain yang terdiri atas manusia Jawa, perempuan dan laki-laki, dari berbagai macam kelas (termasuk keluarga raja, abdi-dalem besar dan kecil, dalang desa, dan kyai pesantren).

Sumber/Source :
-Margana, S. 2004. Pujangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-Florida K. Nancy. Penelitian Tradisi Tulis Indonesia. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
-Museum Sonobudoyo Yogayakarta, disunting oleh Behrend, TE, Dr. Katalog Induk Naskahnaskah Nusantara Jilid I. Jakarta: PT. Penerbit Djambatan.

2 komentar:

bagoes mengatakan...

tulisan yang bagus,saya baca dan jadi referensi tulisan saya,teks serat centhini punya ga?

salam
www.baliazura.wordpress.com

Anonim mengatakan...

Riwayat hidup yasadipura yang lengkap ada ga?